Senin, 06 Juni 2016

malpraktek

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
     Sebagai calon bidan yang ahli dan profesional dalam melayani klien, sudah menjadi suatu kewajiban kita untuk mengetahui dahulu apa saja wewenang yang boleh kita lakukan dan wewenang yang seharusnya ditangani oleh seorang dokter SpOG sehingga kita harus meninjau agar tindakan kita tidak menyalahi PERMENKES yang berlaku.
     Akhir – akhir ini sering kita menemukan dalam pemberitaan media massa adanya peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis bidan yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Media massa marak memberitahukan tentag kasus gugatan/tuntutan hukum (perdata dan pidana) kepada bidan, dokter dan tenaga medis lain, dan manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis.
     Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus – kasus itu terkatagori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang bidan/dokter. Perlu diketahui dengan jelas, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum tentang standar profesi kebidanan yang bisa mengatur kesalahan profesi.
     Melihat fenomena di atas, maka saya melalui makalah ini akan membahas satu kasus malpraktik di Indonesia.

 
A.  Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian malpraktik?
2.    Apa saja jenis – jenis malpraktik hukumnya?
B.  Tujuan
1.    Untuk mengetahui pengertian malpraktik
2.    Untuk mengetahui dan memahami jenis – jenis malpraktik dan hukumnya
3.    Untuk memahami dan menganalisis contoh kasus malpraktik
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.   Pengertian Malpraktek
     Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifaatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
     Sedangkan definisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seorang dokter atau tenaga keperawatan
dari seseorang (perawat danbidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
B.   Jenis – jenis Malpraktek dan Hukumnya
     Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice,Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1.    Criminal malpractice
           Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
a.    Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional):
Ø  Pasal 344 KUHP, tentang Euthanasia, yang berbunyi :
“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sunguh-sunguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Ø  Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
Ayat (1)
“Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama sembiIan bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah”.
Ayat (2)
“Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu”.

Ø  Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus.
·         Pasal 346 KUHP Mengatakan:
“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

·         Pasal 348 KUHP menyatakan:
Ayat (1)
“Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”.
Ayat (2)
“Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

·         Pasal 349 KUHP menyatakan:
“Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan”.

Ø  Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi:
Ayat (1)
“Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.
Ayat (2)
“Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun”.
Ayat (3)
“Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
Ayat (4)
“Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan”.
Ayat (5)
“Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana”.
b.    Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.

c.    Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
Ø  Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
·         Pasal 359 KUHP, Karena kelalaian menyebabkan orang mati :
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.

·         Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1)
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun”.
Ayat (2)
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah”.

·         Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.

Pasal 361 KUHP menyatakan:
“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya diumumkan”.

Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2.    Civil malpractice
 Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a.    Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b.    Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c.    Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d.    Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
3.    Administrative malpractice
           Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice jika bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

C.   LANDASAN HUKUM WEWENANG BIDAN
           
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri Kesehatan. Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya. Oleh karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan cara mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
a.    Syarat Praktik Profesional Bidan
1.    Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan yang praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan Bdan Praktek Swasta (BPS).
2.    Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi persyaratan yang meliputi tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obat-obatan dan kelengkapan administrasi.
3.    Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
4.    Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus menghormati hak pasien, memperhatikan kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan dan melakukan medical record dengan baik.
5.    Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan.


b.    Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik Profesionalnya
           Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia NOMOR1464/MENKES/PER/X/2010 tentang registrasi dan praktek bidan,yang disebut dalam BAB III penyelengaraan praktik bidan antara lain:
Pasal 9
Bidan dalam menjalankan praktik, berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi:
1.    Pelayanan kesehatan ibu;
2.    Pelayanan kesehatan anak; dan
3.    Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
Pasal 10
Ayat 1
Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a diberikan pada masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa antara dua kehamilan.

Ayat 2
Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
1.    Pelayanan konseling pada masa pra hamilpelayanan antenatal pada kehamilan normal;
2.    Pelayanan persalinan normal;
3.    Pelayanan ibu nifas normal;
4.    Pelayanan ibu menyusui; dan
5.    Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan.
Ayat 3
Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk:
1.    Episiotomi
2.    Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II
3.    Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
4.    Pemberian tablet fe pada ibu hamil;
5.    Pemberian vitamin a dosis tinggi pada ibu nifas;
6.    Fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif;
7.    Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum;
8.    Penyuluhan dan konseling
9.    Bimbingan pada kelompok ibu hamil
10. Pemberian surat keterangan kematian dan
11. Pemberian surat keterangan cuti bersalin.
Pasal 11
Ayat 1
Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah
Ayat 2
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
1.    Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini, injeksi Vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0 — 28 hari), dan perawatan tali pusat
2.    Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk
3.    Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan
4.    Pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah
5.    Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah
6.    Pemberian konseling dan penyuluhan
7.    Pemberian surat keterangan kelahiran dan
8.    Pemberian surat keterangan kematian.
Pasal 12
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, berwenang untuk:
1.    Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana dan
2.    Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom.
Pasal 13
Ayat 1
Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, Bidan yang menjalankan program Pemerintah berwenang melakukan pelayanan kesehatan meliputi:
1.    Pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit
2.    Asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu dilakukan di bawah supervisi dokter
3.    Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan
4.    Melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan
5.    Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak sekolah
6.    Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas
7.    Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya
8.    Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) melalui informasi dan edukasi dan
9.    Pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah.
Ayat 2
Pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan bayi dan anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk, dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) hanya dapat dilakukan oleh bidan yang dilatih untuk itu.

Pasal 14
Ayat 1
Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Ayat 2
Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
Ayat 3
Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terdapat dokter, kewenangan bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku.
Pasal 15
Ayat 1
Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota menugaskan bidan praktik mandiri tertentu untuk melaksanakan program Pemerintah.
Ayat 2
Bidan praktik mandiri yang ditugaskan sebagai pelaksana program pemerintah berhak atas pelatihan dan pembinaan dari pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota.
Pasal 16
Ayat 1
Pada daerah yang belum memiliki dokter, Pemerintah dan pemerintah daerah harus menempatkan bidan dengan pendidikan minimal Diploma III Kebidanan.
Ayat 2
Apabila tidak terdapat tenaga bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah dapat menempatkan bidan yang telah mengikuti pelatihan.
Ayat 3
Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota bertanggung jawab
menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang memberikan pelayanan di daerah yang tidak memiliki dokter.
Pasal 17
Ayat 1
Bidan dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan meliputi:
1.    Memiliki tempat praktik, ruangan praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan kebidanan, serta peralatan untuk menunjang pelayanan kesehatan bayi, anak balita dan prasekolah yang memenuhi persyaratan lingkungan sehat
2.    Menyediakan maksimal 2 (dua) tempat tidur untuk persalinan dan
3.    Memiliki sarana, peralatan dan obat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ayat 2
Ketentuan persyaratan tempat praktik dan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 18
Ayat 1
Dalam melaksanakan praktik/kerja, bidan berkewajiban untuk:
1.    Menghormati hak pasien;
2.    Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan
3.    Merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan tepat waktu
4.    Meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan
5.    Menyimpan rahasia pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan
6.    Melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya secara sistematis
7.    Mematuhi standar dan
8.    Melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan kelahiran dan kematian.
Ayat 2
Bidan dalam menjalankan praktik/kerja senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.
Ayat 3
Bidan dalam menjalankan praktik kebidanan harus membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Pasal 19
Dalam melaksanakan praktik/kerja, bidan mempunyai hak :
1.    Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik/kerja sepanjang sesuai dengan standar
2.    Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau keluarganya
3.    Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan standar; dan
4.    Menerima imbalan jasa profesi.
D.    Pembuktian Malpraktek dibidang pelayanan kesehatan
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1.    Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a.    Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.

b.    Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
      Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan.

c.    Direct Cause (penyebab langsung)

d.    Damage (kerugian)
     Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2.    Cara tidak langsung
     Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a.    Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b.    Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c.    Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
E.   Tanggung Gugat Malpraktek
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
            Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.

2. Vicarius liability
            Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.

3. Liability in tort
            Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hokum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
F.    Upaya Pencegahan Malpraktek
1.    Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
     Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga dokter, bidan dan ahli kesehatan lainnya karena adanya mal praktek diharapkan para dokter,bidan dan ahli kesehatan lainnya dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a.    Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b.    Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c.    Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d.    Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e.    Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f.     Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2.    Upaya menghadapi tuntutan hukum
     Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga dokter,bidan dan ahli kesehatan lainnya menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan,dokter dan ahli kesehatan lainnya seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan,dokter dan ahli kesehatan lainnya
.
Apabila tuduhan kepada bidan,dokter dan ahli kesehatan lainnya merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan,dokter dan ahli kesehatan lainnya apat melakukan :
1.    Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea)sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.

2.    Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
      Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
      Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur),apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban(dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kebidanan,dokter dan ahli kesehatan lainnya.

G.   Pertanggung Jawaban dalam Hukum Pidana
            Untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Azas ini merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya pasal 48 tidak memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa. Oleh karena itu untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai berikut :
1.    Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa petindak harus normal.
2.     Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
3.    Tidak adanya alas an penghapus kesalahan atau pemaaf.
H.   Upaya Pencegahan Dalam Menghadapi Tuntutan Malpraktek
           
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya malpraktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
1.    Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya bukan perjanjian akan berhasil.
2.    Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
3.    Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
4.    Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter
5.    Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
6.    Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

BAB III
KASUS
Ber-KB Tapi Tetap Hamil, Rini Tempuh Jalur Hukum
Senin, 10 Oktober 2011, 14:30 WIB

Hamil. Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Rini Astuti (30 tahun) kini hamil tujuh bulan. Ia mengikuti Keluarga berencana (KB), namun tetap hamil. Belakangan, ia sering mengalami kesakitan pada perut dan dadanya. ''Saya sering sesak nafas dan mual-mual,'' katanya.

Ia mendatangi petugas yang berwenang untuk menanyakan hal ini. Namun, ia mengaku kerap dipingpong. Tak puas, warga Sanggrahan Lor, Bendungan, Wates, Kulonprogo ini mendatangi kantor LBH Yogyakarta untuk meminta perlindungan hukum. Ia datang bersama suaminya, Supardi (34 tahun).

"Saya kini mengandung lagi. Tapi di rahim saya juga terdapat spiral. Apakah ini tak berbahaya? Saya harus bagaimana?'' tutur Rini.

Menurut dia, kejadian ini berawal saat ia menghadiri pertemuan kader PKK di desanya tanggal 25 April  lalu. Saat itu, ia mendapat blanko aseptor KB dari seorang petugas KB (PLKB). ''Saya tertarik untuk ikut KB, karena saya sudah punya dua anak, dan sedang menyusui lagi,'' kata Rini.

Sesuai undangan, kata Rini, untuk menjadi aseptor KB, tanggal 26 April ia datang ke Puskesmas Wates. Rencananya ia ingin menjadi aseptor KB dengan memasang IUD. Namun, katanya, pemasangan rupanya tak dilakukan di Puskemas itu, tapi di rumah Wakil Ketua DPRD. ''Dari Puskesmas saya dibawa pakai mobil ke sana,'' tutur dia.

Di rumah itu, rupanya sedang ada acara KB. Ia lalu menjalani tes urine uji kehamilan. ''Saat itu saya dites dua kali, dan hasilnya  dua kali negatif."  Ia lalu setuju untuk pemasangan IUD.

Hanya, saja, seminggu setelah pemasangan spiral, ia sering merasakan kesakitan pada perutnya dan sesak nafas. Gejala ini lalu ditanyakannya pada petugas ke Puskesmas Wates dan ke seorang bidan di Wates.  Tapi,  saat itu ia tak mendapatkan jawaban apa-apa, hanya diberikan vitamin-vitamin.

Merasa ada yang janggal para rahimnya, tanggal 28 Mei, Rini memutuskan pergi ke apotik untuk memeli alat test kehamilan. ''Setelah saya tes sendiri, ternyata hasinya positif.''

Dari pemeriksaan di dokter kandungan, ketahuan ia sudah hamil tujuh pekan. Artinya, saat dipasang kontrasepsi, dirinya sebetulnya sudah hamil.

Johan Ramadhan dari LBH Yogyakarta mengatakan lembaganya melihat kemungkinan telah terjadi malpraktek dalam kasus Rini ini.

Menurut dia, LBH segera akan menghubungi pihak-pihak yang terkait dalam masalah ini, seperti dr Bimo yang disebut-sebut juga bekerja di RS Dr Sardjito. Selain itu, LBH juga akan menghubungi Sujarwo, yang rumahnya menjadi tempat acara pemasangan IUD tersebut.

''Kami juga segera akan mencari second opinion tentang kehamilan ini, agar dapat mengetahui kondisi kesehatannya terkini,'' kata Samsudin Nurseha, dari LBH Yogya
.

BAB IV
HUKUM
A.   Malpraktek menurut hukum di Indonesia
1.    Menurut UU RI No. 23 Tahun 1992

Pasal 15
Ayat 1
Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.

Ayat 2
Tindakan medis tertentu, sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan:
2.    Berdasarkan indikasi medis yangmengharuskan diambilnya tindakan tersebut.
3.    Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.
4.    Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.
5.    Pada sarana kesehatan tertentu.
Pasal 32
Ayat 4
Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Pasal 34
Ayat 1
Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
Pasal 35
Transfusi darah hanya dapat dilakukan oleh tenagakesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Pasal 36
Ayat 1
Implan obat dan atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
Pasal 37
Ayat 1
Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
Pasal 53
Ayat 1
Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
Ayat 2
Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban
untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
Pasal 70
Ayat 1
Dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan bedah mayat untuk penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab kematian serta pendidikan tenaga kesehatan.

Ayat 2
Bedah mayat hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.
a.    Sanksi Pidana
KUHP 359
Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
KUHP 360
Ayat 1
Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selam-lamanya satu tahun.
Ayat 2
Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selamalamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4500,-
KUHP 361
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan.
2.    UU RI No. 23 Tahun 1992
Pasal 80
Ayat 1
Barangsiapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 1 dan ayat 2, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
Pasal 81
Ayat 1
Barangsiapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:
1.    Melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat 1.
2.    Melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1.
3.    Melakukan bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat 1. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.140.000.000,- (seratus empat puluh juta rupiah).
Pasal 82
Ayat 1
Barangsiapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:
1.    Melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 4.
2.    Melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat.
3.    Melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1.
4.    Melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat 1.
5.    Melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat 2. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
C.  SANKSI PERDATA
KUH Perdata 1366
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.
KUH Perdata 1367
Mengatur tentang kewajiban pemimpin atau majikan untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh kelalaian yang dilakukan oleh anak buah atau bawahannya.
KUH Perdata 1370
Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain) dengan sengaja atau kurang hati-hatinya seseorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua korban yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukannya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut keadaan.
KUH Perdata 1371
Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan sengaja atau kurang hati-hati, memberikan hak kepada korban, selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, juga menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut.
D.  UU RI No. 23 Tahun 1992
Pasal 55
Ayat 1
Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.

Ayat 2
Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V
PENUTUP
A.   Kesimpulan
            Dari data kajian yang telah kita peroleh dapat disimpulkan bahwa seorang bidan harus berhati-hati dalam memberikan pelayanan pada pasiennya. Sehingga pelayanan atau tindakah yang kita berikan tidak merugikan pasien dan berdampak pada kesehatan pasien.
Oleh karena itu bidan harus selalu memperhatikan apa yang dibutuhkan pasien sehingga kita mampu memberikan pelayanan yang komprehensif dan berkualitas
            Bidan harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang cukup mendalam agar setiap tindakannya sesuai dengan standar profesi dan kewenangannya.

DAFTAR PUSTAKA
Ameln,F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Dahlan, S., 2002, Hukum Kesehatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
http://hukumpidana.bphn.go.id/search-result/?q=pasal%2080
http://yunnyervianty09.blogspot.com/2012/11/makalah-etika-profesi-dan-hukum.html
Malpraktek Medik.Pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar